Jumat, 02 Maret 2012

KETIKA HUJAN TURUN

Hari telah menjelang senja, sang mentari telah siap menenggelamkan diri. Sebuah keributan kecil terjadi di salah satu rumah kecil yang terletak di sebuah perkampungan kumuh.Yatno yang telah terlihat rapi dengan aroma tubuh yang lebih wangi dari biasanya.
Yatno:”bu,bolehkah aku minta uang?”(sambil mendekati ibunya yang sedang mencuci piring)
Bu wage:”mintalah saja pada bapakmu, ibu tak punya uang”
Tiba-tibabapaknya yang mendengar percakapan mereka langsung naik pitam.
Pak Wage:”untuk apa kau minta uang?, aku tak akan memberikan uang sepeserpun untukmu, masih banyak keperluan lain yang harus didahulukan”
Bu Wage:”ayolah pak, berilah yatno uang, dia itu sudah besar, sudah remaja pak!. Apalagi ini kan malam minggu, mungkin Yatno ada acara dengan teman-temannya, atau barang kali dia sudah mulai pacaran.
Pak Wage:”Sekali tidak ya tetap tidak!, pokoknya tidak, apalagi untuk pacaran, aku susah payah memeras keringat bukan untuk membiayai oarang untuk pacaran.(sambil menggebrak meja)
Bu Wage mengalah dan memilih menghindari pertengkaran dengan Pak Wage. Dengan sembunyi-sembunyi Bu Wage membawa ayam peliharaan suaminya ke rumah tetangga untuk di jual.
Bu wage:”ini nak,....hati-hati di jalan, jangan sAmpai bapakmu tau(sambil memberikan beberapa uang hasil penjualan ayam peliharaan suaminya)
Yatno:”iya bu.....terimakasih. (sambil menerima uang dari ibunya)
Dengan wajah berseri-seri dan senyuman lebar yang mengembang di bibir kusamnya Bu Wage mengantar anak semata wayangnya itu menuju ujung gang. Di balik jendela usang kamar kecil itu Pak wage berdiri sambil mengamati apa yang telah terjadi dihadapannya. Mengetahui ayam peliharaannya hilang seekor. Ia diam saja dan tak berkomentar apapun.
Butiran air langit turun membasahi bumi, hawa dingin semakin merasuk ke tulang. Jam Dinding bioskop telah menjunjukkan pukul 21.00,itu tandanya film yang tadi di putar pukul 19.00 sudah hampir habis. Pak wage duduk di dalam becak hawa dingin menjadikan pak wage merasa sangat menyayangkan rokoknya yang hanya tinggal sebatang.
Beberapa tukang becak mondar-mandir di depan ruang tunggu bioskop. Tak mau kalah dengan yang lain, Pak Wage ikut berebut penumpang, sambil melihat-lihat poster film sesekali Pak Wage menengok ke arah pintu keluar. Tak lama kemudia pintu teater satu dan tiganpun dibuka. Penontonpun berduyun-duyun keluar. Para tukang becak segera menyerbu dan tak ada satupun dari mereka yang tak kebagian penumpang.
Telah beberapa kali Pak Wage mengantar penumpangnya. Masih ada teater dua dan empat yang belum di buka, itu artinya masih ada beberapa lembar rupiah yang bisa di harapkan. Akhirnya pintu teater dua dan empat dibuka. Dalam kondisi hujan deras seperti ini tak ada pilihan lain selain naik becak kecuali yang membawa kendaraan sendiri.
Pak Wage:”Becak mas...?,kemana, sih?(tawar pak wage sambil menghampiri muda-mudi yang kebingungan melihat hujan turun)
Pasangan tersebut menyebut nama sebuah jalan.
Pak Wage:”empat ribu saja mas”
Tanpa menawar pasangan itu langsung naik ke dalam becak. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya Pak Wage mengayuh becak dengan sekuat tenaga. Setelah mengantar penumpang tersebut Pak Wage ingin pulang, namun hati kecilnya menginginkan kembali ke Bioskop. Mungkin saja masih ada sisa rupiah yang masih bisa didapatnya. Pak Wgemenghampiri pasangan muda-mudi yang berteduh di teras bioskop.
Mila:”ayo,bang,...kita pulang”
Yatno:”nanti saja kalau hujannya sudah reda”
Mila:”sampai kapan?,ini sudah malam, itu becaknya sudah datang. Kalau mas tidak punya uang,biar aku saja yang bayar”.(sambil menarik tangan yatno ke arah Pak Wage)
Dengan segera Pak Wage membuka tirai penutup becaknya. Pasangan muda-mudi itupun meloncat ke dalam becak. Sekilas Pak Wage melihat wajah pasangan tersebut. Ia merasa tak asing dengan wajah pemuda itu, Ia terkejut itu adalah Yatno anaknya. Pak Wage segera menguasai keadaan. Dengan segera mengayuh becaknya.Tak pernah terpikirkan sama sekali jika penumpang terakhirnya adalah anaknya sendiri.
Mila:”kok diam saja mas?”
Yatno:”nggak apa-apa “
Mila:”mas marah ya?”
Yatno:”enggak kok”
Mila:”ya,jangan diam gitu dong”
Dinginnya air hujan yang membasahi tubuhnya seketika terasa hilang. Ada kebanggan tersendiri di dalam lubuk hatinya. Namun tak terasa air mata telah membasahi pipinya seakan ada yang menusuk relung hatinya ketika mengetahui anaknya seperti tak mengenali bapaknya di depan kekasihnya itu. Mungkin ia malu memiliki bapak yang hanya seorang tukang becak.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum mbak, saya mau minta izin bolehkah cerpen ini saya jadikan contoh untuk pembelajaran teks cerpen mbak? Saya pernah baca cerpen ini di buku kumpulan cerpen. Tapi bukunya sudah tidak ketemu.

    BalasHapus
  2. menginspirasi sekali bagi pembaca remaja yang masih labil yang belum bisa berkomitmen dan egois

    BalasHapus